Perekonomian global tumbuh positif dengan nilai hampir 100 triliun USD per tahun. Namun sayangnya, kondisi tersebut dibarengi dengan kondisi lingkungan yang semakin menurun. Hal ini tercermin pada kondisi dunia saat ini dihadapkan pada krisis lingkungan yang kompleks seperti perubahan iklim, kerusakan ekosistem, dan sumberdaya yang menipis. Krisis ini diakibatkan oleh pola pembangunan yang tidak berkelanjutan, eksploitasi berlebihan sumber daya alam, dan gas rumah kaca yang tinggi. Dalam konteks ini, green economy hadir sebagai solusi inovatif untuk mengatasi krisis lingkungan dan membangun masa depan yang berkelanjutan.
Indonesia dengan kerentanan terhadap perubahan iklim dan kekayaan alam yang melimpah memiliki kepentingan besar untuk merangkul green economy. Indonesia dapat menjadi pelopor dalam pertanian berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya yang bijaksana,dan pembangunan ekonomi maritim yang ramah lingkungan. Namun, di sisi lain data dari IRENA (2017) menyebutkan Indonesia sebagai konsumen energi terbesar di Asia Tenggara. Indonesia juga sebagai salah satu dari sepuluh penghasil emisi terbesar di dunia dengan berkontribusi sebesar 1,7% emisi global pada tahun 2012 (ADB 2016; CAIT 2017).
Indonesia membutuhkan setidaknya Rp 3.779 triliun secara kumulatif dari 2020-2030 atau Rp 343,6 triliun per tahun untuk penerapan aksi mitigasi dalam kerangka pencapaian target National Determined Contribution (NDC), yaitu batas maksimum emisi karbon yang diperkenankan untuk dihasilkan pada tahun 2030. Sementara, untuk mencapai pangsa energi terbarukan sebesar 23% dalam bauran energi nasional pada tahun 2025, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan bahwa Indonesia membutuhkan investasi sebesar USD 8 miliar setiap tahunnya. Sementara, dalam skenario di mana Indonesia sepenuhnya bergantung pada energi terbarukan, Institute for Essential Services Reform (IESR) memperkirakan kebutuhan investasi tahunan adalah sebesar USD 20 hingga 25 miliar dolar. Hal ini juga sejalan dengan perkiraan Kementerian ESDM yang memperkirakan bahwa investasi yang dibutuhkan Indonesia untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060 mencapai USD 1 triliun atau USD 29 miliar per tahun. Pada kenyataannya, untuk tahun 2022 pemerintah hanya mengalokasikan sekitar 4,1% dari APBN atau sekitar Rp112,74 triliun untuk mengatasi perubahan iklim, baik untuk keperluan mitigasi, maupun dalam upaya adaptasi.
Adanya gap antara kebutuhan dan kemampuan pembiayaan untuk implementasi green economy menjadikan Indonesia harus bekerja keras untuk memulai upaya-upaya menuju ke arah penerapan green economy. Hal tersebut menjadi tantangan bagi Indonesia untuk mencari sumber pendanaan lain yang inovatif untuk mendorong transisi hijau. Dalam tulisan ini akan dieksplorasi beberapa alternatif sumber pembiayaan dalam rangka penerapan green economy.
Sebagai negara yang kaya sumber daya alam, Indonesia memiliki banyak peluang di berbagai sektor ekonomi yang berkelanjutan seperti antara lain sektor pertanian dan perikanan, kehutanan, pariwisata, ekonomi kreatif, dan sektor ekonomi terbarukan. Berbagai peluang tersebut akan menciptakan pasar yang memberikan nilai finansial seiring dengan meningkatnya permintaan global akan produk dan teknologi yang berkelanjutan (GGGI, 2015). Dalam menyokong penerapan green economy, Indonesia memiliki potensi sumber energi terbarukan yang sangat besar, antara lain geothermal sebesar 24 ribu MW, hidropower 95 ribu MW, solar panel matahari 169 ribu MW, serta tenaga angin 68 ribu MW. Per September 2021, potensi tersebut jauh lebih besar dibanding kapasitas terpasang (Grafik 1).

Berdasarkan Jenisnya di Indonesia
Namun demikian, terdapat beberapa tantangan dalam transisi menuju penerapan green economy di Indonesia. Proses transisi ini memerlukan waktu yang panjang, biaya yang meningkat, serta terbatasnya teknologi, dana, dan infrastruktur. Biaya yang meningkat untuk energi ramah lingkungan dapat muncul dari adanya permintaan tambahan terhadap bahan mineral seperti tembaga, litium, dan nikel. Oleh karena itu, proses peralihan ke energi terbarukan selain memerlukan investasi besar, juga akan meningkatkan biaya energi pada awal periode penerapan. Praktik pertanian berkelanjutan juga dapat menaikkan biaya produksi dan harga pangan pada awal penerapan.
Pemerintah berkomitmen untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Salah satu upaya yang sedang gencar dilakukan oleh pemerintah dalam adopsi dan implementasi green economy adalah melalui kebijakan transisi energi. Untuk mempercepat transisi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan, Indonesia sejak 2021 telah mempersiapkan implementasi pembatasan emisi karbon, pajak karbon, dan perdagangan karbon, serta pembiayaan campuran dalam bentuk Energy Transition Mechanism Country Platform untuk memobilisasi pembiayaan untuk penghentian penggunaan batu bara dan penyebaran energi terbarukan.
Pemerintah terus mengembangkan berbagai peraturan teknis pendukung. Sebagai contoh, pada tahun 2022, mekanisme carbon cap, tax, and trade diberlakukan secara bertahap untuk PLTU yang dimiliki dan dioperasikan oleh PLN dan Independent Power Producers (IPP) dengan kapasitas 100-400 MW. Selanjutnya pada tahun 2023, pemerintah menerapkan pajak karbon untuk PLTU dengan kapasitas kurang dari 100 MW. Di samping itu, pembangkit listrik energi terbarukan yang diwajibkan untuk mendapatkan sertifikat pengurangan emisi dapat berpartisipasi dalam mekanisme perdagangan karbon. Lebih lanjut, pemerintah merencanakan setelah tahun 2025, skema ini akan diperluas ke industri lain, seperti limbah dan transportasi. Mekanisme carbon cap, tax, and trade dilakukan sebagai salah satu upaya ‘memaksa’ pelaku penghasil emisi untuk menjadi lebih ramah lingkungan serta menjadi sumber pendanaan bagi pembiayaan implementasi green economy.
Upaya Pembiayaan Green Economy di Indonesia
Pembiayaan implementasi green economy di Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah. Lembaga investasi dan keuangan besar, seperti ekuitas swasta, modal ventura, investment bank, dan perusahaan asuransi dapat memainkan peran penting. Lembaga keuangan dapat berperan sebagai penjamin emisi, menyalurkan pinjaman untuk proyek hijau dan mengembangkannya menjadi green bond, memberi saran kepada perusahaan tentang penerbitan obligasi hijau dan membantu memenuhi standar green bond, atau menciptakan reksadana green bond untuk memenuhi permintaan investor akan investasi berkelanjutan. Perbankan dapat mengembangkan produk dan layanan green banking seperti tabungan hijau dan deposito hijau.
Sebagai daya tarik, Indonesia sangat berpotensi menjadi salah satu pasar hijau di dunia. Saat ini, investasi langsung hijau di Indonesia, terutama di bidang energi terbarukan tumbuh rata-rata 15 persen per tahun yang menunjukkan potensi keuntungan berkelanjutan bagi investor. Di masa depan, Indonesia diperkirakan akan menjadi salah satu pasar hijau terbesar di dunia, baik dari sisi penawaran maupun permintaan yang dapat mendorong investor dan lembaga keuangan untuk mengalokasikan dana mereka di Indonesia (World Bank, 2011). Indonesia dapat menjadi pemimpin regional dalam gerakan green economy. Ini akan memperkuat posisi Indonesia di mata dunia dan membuka peluang kerja sama.
Minat terhadap surat berharga berbasis lingkungan juga terus meningkat. Berdasarkan data dari Morningstar, Asset Under Management (AUM) sustainable funds global mencapai lebih dari USD3,1 triliun pada Juni 2023, meningkat dari USD 2,8 triliun di 2022. Selama paruh pertama tahun 2023, terjadi penambahan AUM sebesar USD 57 miliar. Menariknya, tingkat pengembalian investasi (return) dari sustainable funds juga melampaui dana tradisional (traditional funds), dengan return 6,9% per tahun dibandingkan dengan 3,8% per tahun untuk return traditional funds (BNI Sekuritas, 2024). Di Indonesia, pertumbuhan emiten saham dan obligasi terkait dengan green economy juga meningkat signifikan. Sejak tahun 2021, Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat hampir Rp 38 triliun nilai saham dan obligasi terkait green economy dengan permintaan yang terus meningkat.
Dukungan kebijakan dari skala global juga kuat. Pada tahun 2021, Kelompok Kerja G20 Sustainable Finance Working Group (SFWG) yang diinisiasi oleh Indonesia membahas tantangan-tantangan global dalam pembiayaan berkelanjutan melalui tiga isu prioritas. Ketiga isu prioritas tersebut yaitu kerangka kerja, alat kebijakan, serta instrumen pembiayaan yang terjangkau dan mudah diakses.
Seiring dengan makin berkembangnya pasar pendanaan untuk proyek hijau, inovasi alternatif pembiayaan green financing seperti penerbitan green bond dan green sukuk juga telah dilakukan. Total nilai pasar obligasi Green, Social, and Sustainability (GSS) mencapai USD 7,7 miliar per November 2021. Jumlah penerbitan obligasi hijau mencapai 81% dari total bond yang diterbitkan dengan nilai sebesar USD 6,3 miliar, di mana obligasi hijau non-sukuk dominan diterbitkan oleh pemerintah. Hal ini tercermin pada Q4 2022, hanya dua perusahaan swasta yang telah menerbitkan obligasi hijau dengan dana yang diperuntukkan untuk energi terbarukan (ET).

Sementara obligasi hijau yang dikeluarkan oleh badan usaha milik negara, seperti PT. SMI dan PT. IIF, mencapai USD 185 juta. Di pasar obligasi hijau, obligasi hijau pemerintah lebih dominan dibandingkan dengan obligasi hijau yang diterbitkan oleh bank dan korporasi.
Gambar 2 Green Bonds (Non-Sukuk) yang Diterbitkan oleh Pemerintah dan Perusahaan Milik Negara
Sementara itu, hingga triwulan III tahun 2022, hanya terdapat dua perusahaan swasta yang telah menerbitkan obligasi hijau. Obligasi ini dialokasikan untuk Proyek Energi Terbarukan sejak peraturan OJK mengenai obligasi hijau diterbitkan pada tahun 2017. Rendahnya jumlah penerbitan obligasi hijau oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk energi terbarukan disebabkan oleh ketidakpastian mengenai insentif fiskal dan non-fiskal yang mendukung penerbitan obligasi hijau, kebaruan taksonomi hijau di Indonesia, serta kekurangan proyek-proyek yang dapat dibiayai oleh bank yang sesuai dengan preferensi investor.
Di sisi lain, pembiayaan hijau berbasis syariah menunjukkan hasil yang terus positif. Nilai penerbitan Green Retail Sukuk (GRS) per tahun menunjukkan kecenderungan meningkat. Sedangkan penerbitan Global Green Sukuk (GGS) cenderung tetap (Tabel 1). Nilai penerbitan GRS yang terus meningkat dan jangka waktu tenor GGS yang lebih panjang menunjukkan pasar Green Sukuk Indonesia semakin menarik. Hal tersebut juga tercermin oleh peningkatan jumlah investor GRS yang hampir dua kali lipat yaitu dari 7.735 individu pada 2019 menjadi 14.337 individu pada 2021.

Khusus untuk GGS, penerbitan ini terutama ditargetkan pada investor asing. Pada tahun 2021, penerbitan GGS mencapai lebih dari Rp11 triliun. Berdasarkan komposisi investor, penerbitan tersebut terdiri dari investor Asia (34%), Amerika Serikat (27%), Eropa (25%), Timur Tengah dan Malaysia (8%), serta Indonesia (6%) (Grafik 3). Jumlah GGS pada tahun 2022 terus meningkat. Pada bulan Mei 2022, jumlah GGS yang diterbitkan oleh pemerintah mengalami peningkatan signifikan, mencapai USD 3,25 juta (Rp48 miliar), lebih dari empat kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Hal ini semakin menegaskan bahwa potensi besar GGS Indonesia menjadi sumber utama pembiayaan untuk proyek-proyek green economy di Indonesia. Indonesia memiliki peluang besar dalam penerbitan GGS, khususnya untuk menarik investor dari Timur Tengah yang memiliki kelebihan modal dan tengah mencari peluang investasi syariah yang menguntungkan. Hal ini sejalan dengan upaya Indonesia yang sedang gencar mengembangkan produk syariah memiliki peluang besar untuk menarik investor dari Timur Tengah.

Potensi besar yang dalam pengembangan green economy tersebut dapat membawa Indonesia ke level yang lebih tinggi jika dimanfaatkan dengan optimal.Hal tersebut jugaseiring dengan pengupayaan ekonomi yang meningkatkan kesejahteraan manusia sekaligus meminimalkan dampak lingkungan, kelangkaan ekologi, atau ketimpangan sosial.
Namun demikian, untuk merasakan buah manis dari green economy, Indonesia masih memiliki beberapa pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Penerapan green economy membutuhkan komitmen dan kerja sama dari semua pihak, baik pemerintah, sektor swasta, maupun masyarakat. Transisi menuju green economy memerlukan komitmen kuat, waktu transisi yang cukup panjang, serta peningkatan biaya, khususnya pada awal penerapan green economy. Hal ini harus menjadi perhatian bersama agar tidak membebani masyarakat, utamanya kelas menengah ke bawah. Selain itu, perlu adanya inovasi sumber pendanaan untuk dapat membiayai implementasi green economy.
Beberapa alternatif pembiayaan mulai dikembangkan oleh pemerintah. Dimulai dari pengembangan ekosistem green funding melalui aturan OJK mengenai taksonomi hijau sebagai upaya mengakomodir permintaan investor yang merupakan salah satu langkah besar dalam menunjang keberhasilan implementasi green economy di Indonesia.
Pengembangan kebijakan carbon cap, tax, dan trade juga merupakan langkah yang selaras dengan tren global. Salah satu bentuk pembiayaan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta adalah melalui pengembangan green funding dengan menerbitkan green bond dan green sukuk. Khusus untuk green sukuk, peningkatan nilai penerbitan GRS Indonesia dan jangka waktu tenor GGS yang lebih panjang menunjukkan daya tarik pasar green sukuk Indonesia, baik secara lokal maupun global. Potensi besar juga muncul dari negara-negara Timur Tengah, yang meskipun saat ini belum menjadi investor utama dalam sukuk global Indonesia, namun memiliki preferensi untuk investasi berbasis syariah dan berkelanjutan. Beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengembangkan pasar green sukuk di Indonesia antara lain menyinkronkan kebijakan pemerintah, OJK, serta pelaku industri domestik dengan ketentuan global terkait persyaratan dan aturan mengenai green funding secara menyeluruh. Selain itu, perlu dirumuskan standar dan definisi green sukuk yang jelas dan mudah dipahami, serta sistem verifikasi dan sertifikasi green sukuk yang independen dan lebih baik. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan daya tarik Indonesia di mata investor produk keuangan hijau. Selain itu, kesadaran pasar perlu ditingkatkan melalui edukasi dan penyediaan platform yang memuat informasi mengenai green sukuk untuk memperluas jangkauan pasar green sukuk. Dengan bekerja sama, kita dapat mewujudkan Indonesia yang hijau lestari dan sejahtera untuk generasi sekarang dan masa depan.
One Response
Hi, this is a comment.
To get started with moderating, editing, and deleting comments, please visit the Comments screen in the dashboard.
Commenter avatars come from Gravatar.